Sabtu, 07 Agustus 2010

Arah Kiblat

PADA Kamis dan Jumat (15 dan 16 Juli 2010), tepat sewaktu yaumirrashdil kiblat (hari saat matahari tepat di atas Kakbah sehingga bayangannya menunjuk ke arah kiblat), Tim Hisab Rukyah Jateng, di antaranya penulis dan KH Drs Slamet Hambali, bersama Badan Hisab Rukyah Demak mengukur kembali arah kiblat Masjid Agung Demak.


Pengukuran ulang itu disaksikan para kiai takmir masjid, termasuk ketua umum takmir KH Drs Muhammad Asyik, yang juga Wakil Bupati Demak. Dengan berbagai metode yakni penentuan utara sejati dengan bayangan matahari, menggunakan tiga teodolite dan GPS, serta metode rashdil kiblat yakni pukul 16. 27 WIB pada hari itu, dihasilkan data yang sama.

Artinya posisi Masjid Agung Demak dengan data lintang 60 53’ 40.3’’ LS, bujur 1100 38’ 15.3’’ BT, arah kiblatnya adalah 2940 25’ 39.4’’ UTSB atau 240 25’ 39.4’’ dari arah barat ke utara. Dengan data arah tersebut, berarti keberadaan shaf kiblat Masjid Agung Demak kurang 120 1’ ke arah utara.

Hasil pengukuran ini telah disosialisasikan kepada para kiai dan ulama se-kabupaten itu, pada Jumat, 23 Juli pukul 14.00, dengan mengundang 150 kiai dan juga dihadiri Bupati Drs H Tafta Zani MM, juga pejabat Kemenag Demak.

Lewat penjelasan teknis pengukuran oleh penulis dan KH Drs Slamet Hambali dengan dukungan logika KH Drs Muhammad Asyik dan Bupati, dengan menyatakan al-muhafadah ala qadim al-shalih, wal ahdu bi al-jadid al-ashlah, pengukuran kembali arah kiblat Masjid Agung Demak diterima dengan baik oleh para kiai, dengan cukup merubah shaf shalat dalam masjid itu.

Merujuk opini Noviyanto Aji, 24 Mei 2010, Masjid Agung Demak merupakan masjid tiban atau warisan langit. Tak ada yang tahu asal muasal masjid itu. Penduduk tiba-tiba menemukan masjid sederhana di atas bukit Candi Ketilang, masuk Kabupaten Purwodadi Grobogan masa kini. Kemudian beberapa waktu kemudian bangunan itu pindah, bergeser sejauh 2 km ke sebuah dukuh bernama Kondowo, dan akhirnya masjid ini pindah lagi sejauh s1 km ke Desa Terkesi, Kecamatan Klambu.

Berdasarkan legenda itu, penduduk menamai masjid tiban . Namun setelah diteliti semuanya berawal dari masa pembangunan masjid di Glagahwangi, yang kemudian menjadi semacam tonggak bagi sejarah masjid di Jawa. Sebab Glagahwangi itulah yang kemudian dikenal sebagai Demak, dan masjid yang dibangun itu adalah Masjid Agung Demak.
Dianggap Tiban Ketika para wali memutuskan masjid harus dibangun dari kayu jati, diketahui di sekitar Glagah Wangi tak terdapat hutan jati yang cukup untuk memenuhi kebutuhan itu. Lalu diputuskan mengambil jati dari daerah Klambu, di kawasan Purwodadi (Grobogan). Pada masa itu kawasan tersebut belum berpenduduk. Penebang yang dikirim dari Demak mendirikan masjid sederhana di tengah hutan jati.

Setelah penebangan yang memakan waktu berbulan-bulan selesai, mereka balik ke Demak dan meninggalkan masjid di tengah hutan. Masjid inilah yang kemudian ditemukan penduduk dan menganggap masjid itu tiban . Soal berpindah-pindah masjid memang lebih menyerupai dongeng ketimbang urutan kronologis sejarah. Tetapi, ada satu benang merah di sini, bahwa sejarah masjid-masjid purba di Jawa dan Nusantara tak jarang melibatkan misteri dan kekeramatan.

Saat itu, sidang para wali yang dipimpin Sunan Giri memanas. Terjadi silang pendapat untuk menentukan arah kiblat dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Sampai menjelang shalat jumat tak ada kata sepakat. Sunan Kalijaga melerai dengan ainul yaqin menunjukkan arah kiblat antara Demak dan Makkah.

Mengenai arah kiblat Masjid Agung Demak hasil pengukuran kembali dengan berbagai metode, ternyata ada kekurangan 12 derajat 1 menit ke arah utara, kiranya hal yang tetap harus kita apresiasi dan hormat ta’dhim. Sikap itu mengingat masjid tersebut dibangun pada zaman tatkala belum ada teknologi, dan hanya dengan kewalian Sunan Kalijaga, arah kiblat sudah mengarah barat laut, dalam artian tidak keliru banget, dan hal ini sangat luar biasa.

Sekarang, dengan temuan dan bantuan teknologi, kiranya suatu langkah yang bijaksana bila arah kiblat Masjid Agung Demak diarahkan kembali benar-benar ke kiblat. Melihat data tersebut, Ketua umum Takmir Masjid Agung Demak yang juga Wakil Bupati KH Drs Muhammad Asyik, meyakini bahwa seandainya Mbah Kanjeng Sunan Kalijaga masih hidup, Beliau dengan bijaksana menerima pelurusan shaf shalat Masjid Agung Demak ini. Semoga pelurusan shaf ini menambah kekhusyukan ibadah di masjid itu. Amin ya rabbal alamin.

— H Ahmad Izzuddin MAg, Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia, kandidat doktor program pascasarjana IAIN Walisongo

Keterangan:
Tulisan ini saya ambil sebagai usaha mengumpulkan artikel-artikel atau tulisan-tulisan ilmiah seputar Kabupaten Demak yang beredar di berbagai media cetak,dengan tujuan mempermudah masyarakat mencari referensi ilmiah tentang demak.

0 komentar: